
Dua puluh tujuh tahun pasca-Reformasi 1998, Indonesia justru menghadapi paradoks demokrasi yang kian mengkhawatirkan. Indeks demokrasi versi The Economist Intelligence Unit (EIU) terus merosot: dari 6,53 (2023) menjadi 6,44 (2024), menempatkan Indonesia di peringkat ke-59 dunia sebagai “demokrasi cacat”.
Kemunduran ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan erosi kebebasan sipil dan politik. Freedom House mencatat penurunan tajam kebebasan sipil dari skor 62 (2019) menjadi 57 (2024) didorong oleh kriminalisasi kebebasan berekspresi melalui UU ITE yang menjerat 563 korban dalam 530 kasus selama 2019-2024.
Ruang kritik pun menyempit: mahasiswi seni rupa ITB diancam hukuman 12 tahun penjara karena meme satir presiden, sementara pelaku teater dan musik seperti Yos Soeprapto dan Band Sukatani menghadapi intimidasi aparat.
Di ranah politik, cita-cita reformasi untuk membatasi peran militer justru terdistorsi. Revisi UU TNI memperluas intervensi militer dalam urusan sipil, termasuk pengawasan aktivitas mahasiswa di kampus seperti UIN Walisongo, UI, dan Udayana praktik yang mengingatkan pada era otoriter. Pelibatan TNI dalam penegakan hukum dan pengamanan kejaksaan semakin mengaburkan supremasi sipil. Ironisnya, lembaga penjaga demokrasi seperti MK dan KPK justru dilemahkan.
Revisi UU KPK menggerus independensinya, sementara KUHP baru berpotensi membungkam kritik melalui pasal anti-makar dan pencemaran nama baik pejabat. Hasilnya? Indonesia tergelincir dari “demokrasi elektoral” menjadi “otokrasi elektoral” menurut V-Dem Institute.
Ekonomi Indonesia juga terjebak dalam ketimpangan struktural. Koefisien gini naik dari 0,379 (Maret 2024) menjadi 0,381 (September 2024) angka tertinggi sejak 2014. Kebijakan pembangunan yang mengabaikan keadilan sosial memicu perampasan lahan adat dari Papua hingga Sumatera, sementara pelanggaran HAM seperti penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum tak kunjung diselesaikan. Di tengah target pertumbuhan ekonomi 8% untuk lolos dari middle-income trap, jurang si kaya dan miskin justru menganga. Masyarakat adat seperti Sorbatua Siallagan di Sumatera Utara menjadi korban kriminalisasi, sementara kebijakan perumahan subsidi terbukti tidak tepat sasaran.
Lantas, di mana jalan keluar? Pertama, negara harus menghentikan pelembagaan warisan otoriter. Putusan MK April 2025 yang membatasi pelaporan pencemaran nama baik oleh institusi pemerintah adalah langkah progresif yang perlu diperluas ke revisi UU ITE dan KUHP. Kedua, pendidikan politik warga menjadi kunci. KPID Jawa Barat telah memelopori roadshow literasi media di kampus, sementara civil society seperti Safenet mendesak transparansi kebijakan digital. Ketiga, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dari Tragedi 1965 hingga Mei 1998 harus menjadi prioritas agar sejarah tidak terputus.
Reformasi bukan sekadar nostalgia, melainkan kompas untuk mengoreksi deviasi demokrasi hari ini. Jika kebebasan sipil terus dikorbankan demi stabilitas semu, jika militer kembali menjadi “penjaga politik”, dan jika keadilan sosial hanya jadi retorika maka amanat “reformasi total” akan tinggal monumen usang.
Seperti diingatkan Alissa Wahid: “Bener ora pamer”. Di ujung usia ke-27, reformasi menuntut bukan sekadar refleksi, tapi aksi kolektif menyelamatkan cita-citanya yang nyaris tenggelam dalam pragmatisme kekuasaan.
*) Penulis adalah Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa