
Transformasi digital telah menjadi keniscayaan, mendorong berbagai sektor untuk beradaptasi, tak terkecuali birokrasi pemerintahan. Di era industri 4.0, konsep Birokrasi 4.0 menyeruak sebagai paradigma baru yang menjanjikan pelayanan publik yang lebih cepat, transparan, dan akuntabel melalui pemanfaatan teknologi digital, kecerdasan buatan, dan big data.
Provinsi Banten, dengan potensi demografi muda yang besar, tentu tidak ingin tertinggal dalam gelombang perubahan ini. Namun, dibalik ambisi menuju birokrasi digital, muncul tantangan signifikan terkait partisipasi publik dan bagaimana ruang inovasi bagi Generasi Z dapat dioptimalkan.
Upaya digitalisasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten dan beberapa kabupaten/kota telah terlihat. Aplikasi perizinan online, portal pengaduan masyarakat berbasis web, hingga layanan administrasi kependudukan digital mulai diperkenalkan.
Namun, data dari Survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) pada beberapa layanan publik digital di Banten pada akhir 2024 menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan efisiensi, tingkat partisipasi masyarakat dalam memberikan umpan balik atau mengadvokasi kebijakan secara daring masih belum optimal. Misalnya, dari total pengguna layanan online, hanya sekitar 15% yang aktif memberikan masukan melalui kanal digital yang tersedia. Angka ini jauh di bawah potensi interaksi yang diharapkan dari sebuah birokrasi digital.
Dari hasil wawancara yang kami lakukan dengan beberapa mahasiswa dan pegiat komunitas Gen Z di Serang dan Tangerang pada awal Juni 2025, terungkap adanya kesenjangan antara kemudahan akses informasi dengan partisipasi aktif.
Rizky (21), seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi di Serang, menyatakan, “Aplikasi layanan pemerintah memang ada, tapi kadang informasinya belum lengkap atau interfacenya kurang user-friendly. Kami kaum Gen Z butuh platform yang cepat, responsif, dan bisa dua arah. Kalau cuma satu arah, kurang menarik untuk ikut terlibat.”
Senada dengan Rizky, Annisa (20), seorang aktivis lingkungan digital di Tangerang, menambahkan, “Kami tahu pentingnya kebijakan publik. Tapi, kanal partisipasi yang ada rasanya masih formal dan kaku. Sulit menemukan ‘celah’ untuk menyalurkan ide atau kritik secara konstruktif dan didengar langsung oleh pembuat kebijakan.”
Kesenjangan ini mengindikasikan bahwa sekadar menyediakan platform digital tidak serta-merta menjamin partisipasi. Gen Z, sebagai digital natives dengan pemikiran kritis dan dorongan inovasi yang tinggi, mencari lebih dari sekadar saluran informasi. Mereka menginginkan ruang kolaborasi, di mana ide-ide mereka dihargai dan memiliki potensi untuk diimplementasikan.
Survei dari Asosiasi Pengembang Aplikasi Banten pada Q1 2025 menunjukkan bahwa lebih dari 60% pengembang aplikasi muda (rata-rata Gen Z) di Banten belum melihat adanya program inkubasi atau wadah spesifik dari pemerintah daerah untuk menampung dan mengembangkan inovasi mereka dalam konteks pelayanan publik.
Ini adalah ironi. Di satu sisi, pemerintah berambisi mewujudkan birokrasi yang adaptif terhadap teknologi. Di sisi lain, potensi inovasi dari generasi yang paling melek teknologi justru belum sepenuhnya dirangkul. Padahal, Gen Z bukan hanya pengguna, melainkan juga creator dan problem-solver. Mereka bisa menjadi mitra strategis dalam mengembangkan solusi-solusi digital yang lebih inklusif dan relevan bagi masyarakat.
Untuk mendorong partisipasi publik yang lebih substantif dan membuka ruang inovasi bagi Gen Z dalam konteks Birokrasi 4.0 di Banten, beberapa langkah perlu dipertimbangkan:
Pertama, pemerintah daerah harus merancang platform partisipasi digital yang lebih interaktif dan gamified. Artinya, platform tersebut tidak hanya untuk pengaduan, tetapi juga forum diskusi terbuka, crowdsourcing ide kebijakan, atau kompetisi solusi digital yang relevan dengan tantangan publik. User Interface (UI) dan User Experience (UX) harus dibuat semodern dan semudah mungkin, seolah setara dengan aplikasi media sosial yang biasa mereka gunakan.
Kedua, membangun ekosistem inkubasi inovasi digital yang spesifik untuk pelayanan publik. Ini bisa berupa hackathon rutin, program mentorship dengan birokrat berpengalaman, atau bahkan pendanaan awal untuk prototipe aplikasi yang dikembangkan oleh Gen Z. Menggandeng komunitas teknologi lokal dan universitas di Banten akan sangat krusial.
Ketiga, menerapkan open government data secara lebih komprehensif. Menyediakan data publik yang mudah diakses dan dianalisis akan memberdayakan Gen Z untuk melakukan riset, analisis, dan bahkan mengembangkan aplikasi berbasis data tersebut. Transparansi data adalah fondasi bagi partisipasi yang terinformasi dan inovasi yang berbasis bukti.
Birokrasi 4.0 bukan hanya tentang teknologi, melainkan tentang bagaimana teknologi digunakan untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya. Di Banten, potensi Gen Z sebagai pendorong partisipasi dan inovasi sangat besar. Merangkul mereka bukan hanya keharusan, tetapi investasi jangka panjang untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang responsif, adaptif, dan benar-benar melayani di era digital.
*) Penulis adalah Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jurusan Fisip