
Di era digital yang kian terhubung, suara anak muda, terutama Generasi Z, menjadi kekuatan baru dalam percaturan politik Indonesia. Namun, suara ini tak selalu lahir dari kesadaran politik yang murni. Dalam praktiknya, banyak dari mereka justru menjelma menjadi buzzer politik individu atau kelompok yang dibayar untuk menyebarkan opini dan narasi tertentu di media sosial, yang kadang tidak berdasarkan fakta.
Sebagai mahasiswa, saya melihat adanya dualitas dalam posisi Gen Z: di satu sisi mereka adalah harapan baru demokrasi digital, namun di sisi lain mereka bisa menjadi alat kekuasaan. Masalahnya terletak pada komodifikasi opini, di mana suara politik dijadikan alat transaksi. Fenomena ini berbahaya, karena bukan hanya mengaburkan batas antara partisipasi dan propaganda, tetapi juga mengancam kualitas demokrasi deliberatif.
Data dari LSI (Lembaga Survei Indonesia, 2024) menunjukkan bahwa lebih dari 45% anak muda usia 17–25 tahun aktif menyebarkan konten politik, dan sekitar 30% di antaranya mengaku pernah menerima imbalan untuk mem-posting narasi tertentu. Ini menunjukkan bahwa opini politik bisa diperdagangkan, bukan lagi hasil dari proses berpikir kritis.
Praktik buzzer politik, terutama di kalangan Gen Z, tidak lepas dari celah regulasi dan minimnya literasi politik digital. Banyak dari mereka melihat aktivitas ini sebagai peluang ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap etika komunikasi publik dan integritas pemilu. Fenomena ini memperlihatkan lemahnya kapasitas pemerintah dan penyelenggara demokrasi (seperti KPU dan Bawaslu) dalam mengatur ekosistem digital secara adil.
UU ITE belum secara spesifik mengatur soal buzzer berbayar dalam ranah politik, dan ruang kosong inilah yang dimanfaatkan untuk menyebar hoaks, manipulasi informasi, bahkan menyerang lawan politik dengan akun-akun bayangan.
Hal ini diperparah oleh algoritma media sosial yang memprioritaskan sensasi dan keterlibatan (engagement) daripada kebenaran. Buzzer politik Gen Z, sadar atau tidak, sering menjadi bagian dari strategi kampanye yang lebih mengedepankan viralitas ketimbang substansi kebijakan.
Sebagai mahasiswa FISIP yang diajarkan nilai-nilai etika publik dan transparansi, kami melihat urgensi membangun kembali kesadaran politik Gen Z. Peran mereka seharusnya bukan sekadar “suara digital” yang bisa dibeli, tapi sebagai agen perubahan yang mampu berpikir kritis dan independen.
Kami mendorong:
1. Peningkatan literasi politik digital di kalangan Gen Z.
2. Transparansi dana kampanye digital oleh partai politik.
3. Regulasi tegas terhadap praktik buzzer bayaran.
4. Kolaborasi antara pemerintah, kampus, dan platform digital dalam menciptakan ruang
diskusi politik yang sehat.
Gen Z bisa menjadi masa depan politik Indonesia, tapi hanya jika suara mereka tidak
diperdagangkan, melainkan dijaga agar tetap otentik, kritis, dan beretika.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa , Fisip, Jurusan Administrasi Publik