Ketika Semua Partai Masuk Pemerintah, Siapa yang Akan Mengawasi Kekuasaan ? Oleh Fitrianingsih *)

Pemilu 2024 telah berakhir, namun dinamika politik Indonesia masih bergolak di tengah proses konsolidasi kekuasaan. Koalisi Indonesia Maju Plus, gabungan partai yang mendukung presiden terpilih, mendominasi DPR, dengan 470 kursi (sekitar 81% dari 580 kursi), sedangkan satu-satunya partai besar di luar koalisi, PDI Perjuangan, hanya memiliki 110 kursi (19%) (Suryaningtyas, 2025).

Kondisi ini membangkitkan kekhawatiran publik bahwa ruang bagi partai oposisi menjadi makin sempit. Padahal, percakapan soal keberadaan oposisi sangat penting di republik ini, karena publik berharap ada partai yang mampu menyuarakan aspirasi rakyat sekaligus mengawal kebijakan pemerintah agar selaras dengan konstitusi dan kepentingan umum.

Koalisi yang mendukung pasangan presiden-wapres terpilih pasca-Pemilu 2024 memiliki mayoritas kursi DPR, dengan hanya sedikit oposisi. Pada awalnya, Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PBB, dan Partai Gelora adalah anggota koalisi Indonesia Maju. Setelah pemilu, sebagian besar partai politik yang sebelumnya tidak tergabung dalam koalisi, seperti NasDem, PKS, PKB, PPP, dan Perindo, akhirnya bergabung, membentuk “Koalisi Maju Plus” (Majid, 2024).

Langkah ini menciptakan ruang politik yang hampir tak tersaingi: legislatif PDI-P pun akhirnya hanya berdiri sendirian di luar koalisi besar.

Sebelum penghitungan suara rampung, banyak pengamat memang masih menilai konstelasi parlemen akan seimbang. Berdasarkan data rekapitulasi KPU, suara gabungan parpol pendukung pasangan calon rival tercatat sekitar 45,41%, sedikit lebih tinggi dibandingkan gabungan pendukung calon presiden terpilih yang sekitar 43,17% (Rahayu, 2024). Artinya, pada awalnya ada harapan kekuatan pengusung presiden dan oposisi potensial akan relatif berimbang. Namun situasi berubah drastis saat sebagian besar partai rival menerima tawaran untuk bergabung ke pemerintahan baru.

Tokoh capres Prabowo Subianto misalnya, dalam pidatonya menyatakan tujuan koalisi adalah persatuan nasional dan “tidak perlu oposisi”. Prabowo bahkan mengusulkan pembentukan koalisi permanen menuju Pilpres 2029. Dengan strategi politik tersebut, hampir semua partai penguasa berhasil dijinakkan dengan berbagai tawaran jabatan, sementara kultur oposisi sebagai penyeimbang dikecilkan ruang hidupnya.

Praktik penggabungan luas ini mengakibatkan hampir tidak ada lagi kekuatan legislatif yang benar-benar menyusun barisan oposisi. Partai-partai yang semula berposisi berseberangan sekarang banyak ikut dalam kabinet dan koalisi pemerintahan. Sejumlah pengamat politik menyoroti bahwa hampir setiap tokoh yang berpotensi menjadi pemimpin oposisi telah terlibat dalam politik koalisi. Akibatnya, oposisi formal menjadi setara dengan status simbolis semata. Tanpa blok oposisi yang kokoh, pengawasan atas jalannya pemerintahan sulit terwujud.

Para ahli menegaskan pentingnya peran oposisi sebagai penjaga demokrasi. Dekan FISIP UI Prof. Semiarto Aji Purwanto menegaskan bahwa “Pasca Pemilu 2024 memerlukan revitalisasi dengan membangun kembali pengawasan dan keseimbangan yang kuat dalam pemerintahan.”

Menurutnya, kehadiran oposisi yang kuat, konstruktif, dan mengutamakan kepentingan rakyat adalah prasyarat penting revitalisasi demokrasi pasca pemilu. Tanpa partai oposisi yang bersuara kritis, demokrasi rentan kehilangan makna: parlemen berisiko hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah tanpa mampu mengoreksi jalannya kebijakan. Suara masyarakat luas pun semakin sulit terdengar dalam
forum formal negara.

Minimnya oposisi menghadirkan beberapa tantangan serius bagi mekanisme demokrasi. Kehadiran kekuatan penyeimbang di parlemen memastikan ada checks and balances terhadap kebijakan eksekutif. Tanpa itu, penguasa bisa bertindak sewenang-wenang. Sebagaimana dicatat dalam penelitian Liyanto (2022), “partai oposisi memiliki peranan penting dalam menjaga checks and balances” politik Indonesia.

Penelitian ini menekankan perlunya basis hukum khusus untuk peran oposisi agar partai-partai tersebut tidak sekadar “hiasan” belaka. Dengan demikian, pemerintah tidak boleh lagi merasa “di atas angin”
dalam membuat kebijakan yang berdampak pada masyarakat.

Melemahnya oposisi dalam sistem politik berdampak signifikan terhadap kehidupan demokrasi. Oposisi seharusnya berperan sebagai penyeimbang kekuasaan (checks and balances) yang menyalurkan keresahan rakyat dan mengawasi pemerintah agar tetap setia pada cita-cita bernegara. Tanpa kehadiran
kekuatan politik yang kritis di parlemen, pemerintahan baru dapat menjalankan kebijakan tanpa pengawasan serius. Hal ini membuka potensi meningkatnya praktik otoritarianisme, karena tanpa oposisi yang kuat, pemerintah berisiko bertindak sewenang-wenang dan mengubah aturan sesuai kepentingannya sendiri.

Selain itu, dominasi koalisi tunggal juga membatasi lahirnya inovasi kebijakan, karena partai penguasa lebih fokus menjaga stabilitas internal daripada mendorong solusi kreatif atas masalah publik. Dalam kondisi seperti ini, aspirasi rakyat pun tersendat, terutama suara kelompok minoritas atau rentan yang
kehilangan saluran politik alternatif untuk menyuarakan kepentingannya melalui legislasi dan perumusan kebijakan.

Semua aspek di atas menunjukkan betapa fundamentalnya oposisi dalam sistem demokrasi. Majid (2024) dalam Kompas mengutip, “dengan hadirnya oposisi, demokrasi dipastikan tumbuh lebih baik, sementara perangkat demokrasi akan lebih berdaya”. Dalam sejarah demokrasi, setiap kali kekuasaan terkonsentrasi tanpa penyeimbang, risiko penyalahgunaan kebijakan dan korupsi semakin tinggi. Dua profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, bahkan memperingatkan bahwa demokrasi rentan mati jika penyeimbangnya dihilangkan.

Di tengah kekhawatiran itu, konsensus akademisi dan aktivis sipil tetap menempatkan ruang oposisi sebagai elemen tak terpisahkan dari demokrasi.

Penelitian hukum terbaru meyakini perlunya penguatan legalitas peran oposisi agar mampu “menunjukkan taringnya” bila diperlukan. Dengan reformasi aturan atau tradisi politik yang memberi jaminan independensi partai oposisi, keseimbangan kekuasaan bisa terjaga, sehingga kontrol publik atas pemerintah tidak sepenuhnya lepas. Kita harus menyadari bahwa demokrasi tidak hanya soal pemilu yang kompetitif, tapi juga soal keberlangsungan kritik dan ide alternatif.

Dominasi koalisi besar mungkin menghadirkan stabilitas jangka pendek, tetapi kualitas demokrasi baru terlihat dari sejauh mana suara rakyat yang berbeda tetap diperdengarkan. Sebagaimana ditegaskan para pakar, masyarakat sipil, media, dan politikus berkepentingan harus bersama-sama mendorong lahirnya oposisi konstruktif. Demokrasi Indonesia akan lebih sehat jika akar budaya politik kita diwarnai kolaborasi yang tetap mengakui pluralitas suara, bukan semata konsensus koalisi. Jika tidak, kita kehilangan kesempatan untuk belajar dari perbedaan dan memperbaiki sistem pemerintahan bersama.

*) Penulis adalah Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jurusan Fisip

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *