
Setiap tanggal 1 Mei, pekerja di seluruh dunia memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day. Di Indonesia, momen ini tak hanya menjadi simbol solidaritas buruh, tetapi juga menjadi ruang untuk
menyuarakan aspirasi dan ketimpangan yang masih dirasakan oleh kelas pekerja.
Salah satu aktor utama dalam perjuangan ini adalah serikat buruh. Namun, pertanyaannya: sejauh mana peran serikat buruh benar-benar efektif dalam meningkatkan kesejahteraan buruh dan memperbaiki kondisi kerja?
Serikat buruh merupakan pilar penting dalam sistem ketenagakerjaan yang demokratis. Sebagai organisasi yang dibentuk oleh, dari, dan untuk buruh, serikat buruh memiliki fungsi utama dalam melindungi, membela, dan memperjuangkan hak serta kepentingan para pekerja. Dalam konteks Indonesia, peran serikat buruh semakin vital di tengah berbagai dinamika hubungan industrial dan
tantangan globalisasi yang berdampak pada dunia kerja.
Peran utama serikat buruh dalam meningkatkan kesejahteraan buruh tercermin dari kemampuannya
dalam melakukan negosiasi kolektif dengan pengusaha. Melalui perjanjian kerja bersama (PKB), serikat buruh dapat memperjuangkan kenaikan upah, jaminan sosial, jam kerja yang manusiawi, serta perlindungan terhadap PHK sepihak. Di samping itu, serikat buruh juga menjadi kanal pengaduan bagi buruh yang mengalami pelanggaran hak atau diskriminasi di tempat kerja.
Serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk oleh, dari, dan untuk para pekerja guna memperjuangkan hak-hak mereka di tempat kerja. Secara teoritis, keberadaan serikat ini menjadi jembatan antara buruh dan pemberi kerja dalam menyuarakan kepentingan, menegosiasikan upah, kondisi kerja yang layak, hingga perlindungan hukum. Dalam praktiknya, peran tersebut kerap kali menghadapi tantangan struktural dan politis yang tidak ringan.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa dari sekitar 140 juta angkatan kerja di
Indonesia, hanya sekitar 7 juta yang tergabung dalam serikat buruh. Angka ini menunjukkan bahwa
tingkat serikatisasi di Indonesia masih tergolong rendah, padahal serikat adalah instrumen penting
dalam memperkuat posisi tawar buruh.
Minimnya keberadaan serikat di sektor-sektor informal, outsourcing, dan industri padat karya menjadi
salah satu sebab rendahnya perlindungan buruh. Di sisi lain, masih banyak perusahaan yang melihat
serikat buruh sebagai “pengganggu stabilitas produksi”, bukan hanya sebagai mitra sosial. Kondisi ini
diperparah oleh minimnya pemahaman buruh dan akan hak-haknya serta adanya intimidasi halus
terhadap pekerja yang ingin berserikat.
Di tengah segala keterbatasan, tidak dapat dimungkiri bahwa serikat buruh tetap memiliki peran yang
sangat signifikan. Serikat menjadi ujung tombak dalam negosiasi Perjanjian Kerja Bersama (PKB), advokasi terhadap PHK sepihak, hingga pengawalan terhadap pelaksanaan upah minimum. Tidak sedikit pula kasus ketenagakerjaan yang dapat diselesaikan secara dialogis berkat peran aktif serikat dalam menjembatani kepentingan pekerja dan manajemen.
Serikat juga menjadi kanal utama dalam memberikan edukasi hukum ketenagakerjaan kepada anggotanya. Edukasi ini penting karena masih banyak pekerja yang belum memahami hak dasarnya,
seperti hak atas cuti, jaminan sosial, jam kerja layak, dan perlindungan dari diskriminasi.
Dalam konteks kebijakan publik, serikat buruh yang aktif seringkali menjadi mitra penting dalam memberikan masukan terhadap rancangan regulasi ketenagakerjaan. Misalnya, peran serikat dalam
menyuarakan penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dinilai merugikan buruh, menunjukkan bahwa kekuatan kolektif buruh masih bisa menjadi pengimbang dalam sistem demokrasi.
Peringatan May Day tidak seharusnya hanya dipandang sebagai ajang demonstrasi jalanan tahunan.
Lebih dari itu, May Day harus menjadi momentum untuk memperkuat kembali peran serikat buruh
secara substansial. Ini mencakup tiga hal: konsolidasi internal serikat, pendidikan politik buruh, dan
penguatan solidaritas lintas sektor.
Pertama, serikat buruh perlu melakukan konsolidasi internal agar tidak terjebak dalam rivalitas antar
organisasi yang melemahkan gerakan. Kedua, pendidikan politik perlu diperkuat agar buruh tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi juga subjek yang kritis terhadap kebijakan yang menyangkut nasib mereka. Ketiga, solidaritas lintas sektor dan lintas isu penting untuk memperluas dukungan dan memperkuat tekanan publik terhadap kebijakan yang tidak adil.
Dalam realitas ekonomi yang semakin neoliberal dan relasi kerja yang makin fleksibel, posisi buruh
semakin rentan. Serikat buruh memiliki peran yang sangat strategis dalam melindungi dan meningkatkan kesejahteraan pekerja. Namun untuk memainkan peran tersebut secara efektif, serikat perlu memperkuat kapasitasnya, memperluas basis keanggotaan, dan membangun komunikasi strategis dengan seluruh pemangku kepentingan.
May Day adalah pengingat bahwa perjuangan buruh belum usai. Di balik hiruk-pikuk peringatan dan orasi di jalanan, tersimpan harapan agar keadilan sosial benar-benar bisa dirasakan oleh seluruh pekerja. Dan serikat buruh, sebagai garda depan gerakan ini, memiliki tanggung jawab moral dan politis untuk terus menyuarakan kepentingan mereka yang bekerja namun belum sepenuhnya sejahtera.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fakultas Fisip, Jurusan Administrasi Publik