
Program sekolah gratis telah berkembang menjadi janji politik populer yang menarik bagi masyarakat. Di atas kertas, semangatnya jelas: memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan gratis.
Namun, di lapangan, kita harus mengakui bahwa “gratis” sering kali lebih mengacu pada jumlah daripada
kesetaraan dan kualitas akses. Apakah kata “gratis” cukup tepat untuk menggambarkan sekolah, dan apakah sekolah tersebut benar-benar gratis? Kenyataannya, banyak sekolah yang masih membebankan biaya dalam bentuk buku, pembelian seragam, kegiatan ekstrakurikuler, atau sumbangan sukarela, yang dapat membebani orang tua murid. Ironisnya, biaya-biaya “tidak resmi” yang dipungut oleh komite sekolah justru membuat sekolah-sekolah unggulan negeri menjadi semakin eksklusif. Kita juga perlu melihat dampak sistemik dari kebijakan ini.
Kualitas pendidikan terancam ketika sekolah diminta untuk membebaskan semua biaya tanpa adanya peningkatan dana yang sesuai. Banyak sekolah yang kekurangan dana, guru-gurunya tidak terlatih dengan baik, dan fasilitasnya terbengkalai. Kita perlu mengambil pandangan yang lebih luas tentang sekolah gratis. Tidak hanya uang sekolah yang harus dihapuskan, tetapi juga harus dipastikan bahwa semua anak, terlepas dari kondisi keuangan orang tua mereka, menerima pendidikan yang terhormat, berkualitas tinggi, dan penuh kasih sayang. Hal ini menyiratkan bahwa pemerintah harus memastikan kualitas selain membayar biaya.
Ada tiga komponen utama yang harus ada dalam kebijakan sekolah gratis yang sukses. Pertama, pendanaan yang adil: alokasi anggaran yang memprioritaskan sekolah-sekolah yang melayani siswa dari keluarga kurang mampu dan yang berada di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Kedua, peningkatan kualitas kurikulum dan tenaga pengajar: sekolah gratis tidak boleh menurunkan standar pembelajaran. Ketiga, keterbukaan dan pengawasan anggaran: untuk mencegah pungutan liar berkedok sumbangan, masyarakat harus mengetahui bagaimana uang BOS dan APBD digunakan. Hanya karena angka partisipasi sekolah meningkat, bukan berarti kita harus merasa puas.
Pendidikan harus lebih dari sekadar sarana untuk menyelesaikan pendidikan dasar sembilan atau dua belas tahun; pendidikan harus menjadi sarana untuk keluar dari kemiskinan dan ketidaksetaraan. Sekolah gratis menandai dimulainya tugas yang lebih besar: menjadikan pendidikan sebagai hak asasi manusia dan bukan sebagai industri yang menghasilkan keuntungan. Untuk memastikan bahwa setiap anak, dari Sabang sampai Merauke, mendapatkan pendidikan gratis yang berkualitas dan bermartabat, pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus berkolaborasi. Kesenjangan antara lokasi perkotaan dan pedesaan merupakan isu lain yang sering diabaikan dalam perdebatan “sekolah gratis”.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, murid-murid dapat menikmati berbagai program pengayaan, guru-guru yang lebih terlatih, akses internet, dan fasilitas sekolah yang lebih baik.
Sementara itu, banyak sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) masih menghadapi tantangan
terkait bangunan sekolah yang rusak, kekurangan guru, dan bahkan kekurangan buku pelajaran. Sebenarnya, istilah “gratis” seharusnya merujuk pada lebih dari sekadar disediakan tanpa biaya, tetapi juga harus merujuk pada pemenuhan persyaratan minimal untuk kualitas pendidikan di setiap daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa biaya operasional pendidikan sangatlah tinggi.
Sekolah membutuhkan dana untuk proyek-proyek pembangunan, penyediaan peralatan konstruksi, laboratorium, perpustakaan, dan pengembangan kurikulum.
Jika pemerintah gagal menyediakan sumber daya yang memadai untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut, maka administrator dan komite sekolah akan terpaksa menawarkan “sumbangan sukarela” kepada para orang tua murid.
Oleh karena itu, dalam praktiknya, sumbangan ini sering kali berubah menjadi persyaratan yang membantu, bahkan bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Kualitas tim pengajar merupakan komponen penting selain anggaran. Efektivitas program sekolah gratis bergantung pada komitmen para pengajar yang profesional dan selalu meningkatkan kemampuan mereka.
Untuk itu diperlukan perekrutan yang selektif, kesejahteraan guru yang lebih baik, dan pelatihan yang berkelanjutan.
Perekrutan tenaga pengajar honorer yang tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan sayangnya masih menjadi masalah utama di beberapa tempat. Proses belajar mengajar menjadi terganggu ketika guru menerima kompensasi yang tidak memadai karena mereka biasanya kurang termotivasi.
Selain itu, sangat penting bagi publik untuk terlibat dalam mengawasi penggunaan anggaran. Hingga saat ini, belum ada transparansi yang menyeluruh mengenai pengelolaan dana APBD dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Alokasi dana tersebut terkadang tidak diketahui oleh orang tua murid. Dengan adanya transparansi ini, perilaku tidak etis, penggelembungan anggaran, dan pungutan-pungutan yang tidak sah yang mengurangi nilai pendidikan “gratis” dapat dicegah.
Dukungan non-akademis untuk siswa merupakan faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Banyak anak dari keluarga berpenghasilan rendah yang bergumul dengan masalah psikososial di rumah, tiba di sekolah dalam keadaan lapar, atau kurang tidur karena harus membantu orang tua mereka bekerja. Inisiatif tambahan seperti makan siang gratis, bantuan alat tulis, dan terapi kejiwaan harus disertakan dalam sekolah gratis agar siswa dapat berkonsentrasi pada pelajaran mereka tanpa teralihkan oleh isu-isu di luar kelas.
Selain itu, pendidikan gratis juga harus mendorong pertumbuhan keterampilan hidup selain keterampilan kognitif. Berpikir kritis, kreativitas, melek komputer, dan kerja sama tim adalah hal yang dibutuhkan di dunia kerja di masa depan.
Oleh karena itu, tanpa membebani para pengajar dan siswa dengan tujuan akademis, kurikulum harus dibuat agar sesuai dengan tuntutan zaman. Pemerintah juga harus mendukung sektor publik dan
organisasi masyarakat dalam menyediakan pendidikan gratis. Perusahaan dapat berkontribusi melalui program CSR (Corporate Social Responsibility), seperti menyediakan peralatan komputer, pelatihan, atau bimbingan belajar. Namun, LSM dan komunitas lokal dapat membantu dengan menawarkan program pengembangan karakter, pelatihan keterampilan, atau bimbingan belajar tambahan.
Bagaimanapun juga, kita harus memahami bahwa pendidikan adalah investasi waktu dan uang, bukan biaya yang harus dibayar. Negara-negara maju telah menunjukkan bahwa investasi yang signifikan di sektor pendidikan menghasilkan generasi yang inovatif, kreatif, dan produktif yang dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Gagasan “sekolah gratis” harus ditetapkan sebagai slogan yang mencakup semua aspek pendidikan yang
menjawab tantangan ekonomi, sosial, dan budaya jika Indonesia ingin menjadi negara model.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fisip, Jurusan Administrasi Publik