Kita semua mengetahui bahwa buku merupakan senjata utama dalam dunia pendidikan. Bahkan, sastrawan dunia Leo Tolstoy pernah mengatakan bahwa “buku adalah guru sunyi kebijaksanaan.” Berangkat dari pandangan tersebut, sudah sepantasnya buku menjadi kebutuhan primer yang keberadaannya mudah dijumpai di mana pun.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Di Kota maupun Kabupaten Serang, keberadaan buku belum dapat ditemukan secara masif sebagaimana kebutuhan pokok lain seperti makanan dan pakaian.


Kami tidak perlu berbicara terlalu jauh mengenai perpustakaan, lapak baca, pojok baca, Taman Bacaan Masyarakat, ataupun inovasi terbaru seperti ruang baca di LRT yang baru saja diresmikan. Harapan terhadap fasilitas-fasilitas tersebut terasa terlalu tinggi jika kebutuhan paling mendasar saja belum terpenuhi. Sebab, jika menengok pada hal paling dasar dalam ekosistem literasi, yaitu toko buku, kondisinya justru memprihatinkan.
Di Kota dan Kabupaten Serang, jumlah toko buku dapat dikatakan sangat minim. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Kota Serang mencapai 743.794 jiwa, sementara Kabupaten Serang memiliki sekitar 1,76 juta jiwa. Dengan total penduduk lebih dari dua juta jiwa, keberadaan toko buku yang hanya berkisar tiga hingga empat unit tentu tidak sebanding sama sekali. Bahkan, toko buku yang dapat dikatakan memiliki koleksi relatif lengkap hanya satu, yakni Gramedia Kota Serang, yang dibuka pada tahun 2025.
Kota dan Kabupaten Serang juga dapat dikatakan sebagai kota pelajar, mengingat wilayah ini dihuni oleh sejumlah perguruan tinggi besar dengan jumlah mahasiswa yang tidak sedikit. Terdapat Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA), UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Universitas Bina Bangsa (UNIBA), Universitas Pamulang (UNPAM), Universitas Banten Jaya (UNBAJA), Universitas Serang Raya (UNSERA), hingga Universitas Faletehan. Dengan kondisi tersebut, sudah sepantasnya keberadaan toko buku beredar secara masif di wilayah ini.
Namun, realitas menunjukkan hal yang berbanding terbalik. Jika dibandingkan dengan kota-kota lain yang memiliki tingkat pelajar dan mahasiswa yang sama tingginya, seperti Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Bandung, ekosistem perbukuan di sana justru tumbuh secara aktif. Toko buku mudah ditemukan, inovasi kafe atau coffee shop berbasis literasi menjamur, serta lapak-lapak bacaan hadir di berbagai sudut kota.
Pertanyaannya kemudian, mengapa Kota dan Kabupaten Serang, yang sama-sama menyandang predikat kota pelajar, justru tertinggal dalam penyediaan ruang dan akses terhadap buku?
Sudah sepatutnya isu ini menjadi perhatian bersama. Mengapa kondisi tersebut bisa terjadi? Meski upaya untuk menengok persoalan ini terbilang cukup terlambat, langkah tersebut tetap lebih baik daripada tidak dilakukan sama sekali. Pertanyaan mendasarnya adalah, problematika apa yang membuat jumlah toko buku di Kota dan Kabupaten Serang begitu minim. Apakah rendahnya minat baca menjadi faktor utama, atau justru kurangnya dukungan masyarakat, kebijakan pemerintah, serta ekosistem literasi yang belum terbangun secara menyeluruh?
Jika menengok pada aspek minat baca, persoalan ini sejatinya menjadi semakin menarik. Berdasarkan Indeks Gemar Membaca Indonesia, angka nasional berada pada skor 72,44, sementara Kota dan Kabupaten Serang berada sedikit di bawahnya, yakni 68,79. Angka tersebut tetap menunjukkan bahwa minat baca masyarakat tergolong cukup tinggi. Saya percaya pada indeks tersebut, sebab temuan di lapangan menunjukkan hal yang sejalan. Setiap kali berlangsung bazar buku atau festival literasi di Kota maupun Kabupaten Serang, antusiasme masyarakat terlihat cukup besar. Banyak pengunjung datang, buku diburu, dan ruang-ruang literasi dipadati.

Namun, pertanyaan krusial kemudian muncul: jika minat baca relatif tinggi dan antusiasme terhadap buku nyata adanya, mengapa jumlah toko buku justru sangat sedikit? Apakah ketertarikan masyarakat terhadap buku hanya bersifat temporer dan tidak konsisten, atau justru terdapat persoalan struktural lain yang membuat ekosistem perbukuan sulit tumbuh di wilayah ini?.
Banyak pihak sudah sepantasnya menengok dan menaruh perhatian serius terhadap problematika ini. Dengan tingkat pelajar dan mahasiswa yang tinggi di Kota dan Kabupaten Serang, buku seharusnya diposisikan sebagai kebutuhan primer, bukan sekadar pelengkap. Sebab, bagaimana mungkin seseorang ingin memasak hidangan tanpa pisau? Bagaimana cara memotong sayur, daging, ayam, atau tempe dan tahu tanpa alat utama tersebut?.
Demikian pula pendidikan tanpa buku. Ia ibarat proses memasak tanpa pisau. Hasilnya tentu tidak maksimal, terasa hambar, dan kehilangan nilai. Tanpa keberadaan buku yang mudah diakses, mustahil kualitas pendidikan dapat tumbuh secara utuh dan berkelanjutan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam