Ketika Taman Bacaan Masyarakat Menjadi Ruang Aman dan Tempat Anak Bertumbuh oleh Isnaeni Hanifah *)

Selama ini, taman bacaan masyarakat (TBM) sering dipahami sebatas tempat membaca buku atau belajar menulis. Pemahaman ini memang tidak sepenuhnya keliru, tetapi belum menggambarkan peran TBM secara menyeluruh. Jika dilihat lebih dekat, terutama dari praktik di lapangan, TBM justru berkembang menjadi ruang dengan fungsi yang jauh lebih luas. TBM tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga rumah aman bagi anak-anak dan ruang awal untuk mengasah bakat serta potensi diri. Di banyak daerah, TBM bahkan menjadi salah satu ruang sosial yang penting bagi anak-anak di luar rumah dan sekolah.

Pemahaman ini menjadi semakin penting jika dikaitkan dengan kondisi literasi anak di Indonesia. Berbagai hasil studi, termasuk Programme for International Student Assessment (PISA), menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata internasional. Namun, jika literasi hanya dilihat dari angka dan peringkat, persoalan yang lebih mendasar justru terlewat. Literasi tidak tumbuh secara instan. Ia berkembang dari lingkungan yang mendukung, rasa aman, hubungan sosial yang sehat, serta pengalaman belajar yang menyenangkan. Tanpa semua itu, kemampuan membaca dan menulis sulit berkembang secara berkelanjutan.

UNESCO menegaskan bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, melainkan tentang kemampuan seseorang untuk belajar, berkomunikasi, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Artinya, literasi berkaitan erat dengan proses pemberdayaan manusia. Literasi menyentuh aspek akademik sekaligus sosial, emosional, dan budaya. Dengan demikian, literasi membutuhkan ruang yang membuat anak merasa diterima, dihargai, dan bebas mengekspresikan dirinya.

Dalam konteks inilah peran TBM menjadi sangat relevan. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mendefinisikan taman bacaan masyarakat sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat yang berbasis komunitas dan disesuaikan dengan kebutuhan warga. TBM tidak dibangun sebagai lembaga yang kaku, melainkan sebagai ruang yang lentur dan dekat dengan kehidupan masyarakat. Fleksibilitas ini membuat TBM mampu merespons berbagai kebutuhan sosial di sekitarnya. Tidak sedikit TBM yang kemudian mengembangkan kegiatan di luar membaca, seperti diskusi ringan, permainan edukatif, kegiatan seni, hingga pendampingan belajar secara personal.

Lebih dari itu, TBM sering kali berfungsi sebagai ruang aman (safe space) bagi anak-anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berulang kali menekankan bahwa lingkungan yang aman secara emosional sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Anak yang merasa aman cenderung lebih berani mengemukakan pendapat, lebih terbuka dalam proses belajar, dan lebih percaya diri dalam bersosialisasi. Dengan pendekatan nonformal dan suasana yang ramah, TBM kerap mampu menghadirkan rasa aman tersebut.

Di banyak komunitas, anak-anak datang ke TBM bukan karena kewajiban, melainkan karena rasa nyaman. Mereka tidak dihakimi ketika belum lancar membaca, tidak dibebani target nilai, dan tidak dibandingkan dengan anak lain. TBM memberi ruang bagi anak untuk belajar sesuai ritmenya masing-masing. Kondisi ini menjadi semakin penting di tengah meningkatnya tekanan akademik dan penggunaan gadget yang sering kali tidak diimbangi dengan pendampingan orang dewasa. Dalam situasi seperti ini, TBM hadir sebagai alternatif ruang tumbuh yang lebih sehat dan manusiawi.

Selain sebagai rumah aman, TBM juga berperan sebagai ruang awal pengembangan bakat dan minat anak. Berbagai kajian tentang pendidikan nonformal menunjukkan bahwa anak-anak lebih mudah tertarik pada kegiatan membaca ketika proses belajar dipadukan dengan aktivitas kreatif. Menggambar, bercerita, bermain musik, teater kecil, atau permainan tradisional bukan sekadar hiburan. Kegiatan-kegiatan ini membantu anak membangun rasa percaya diri, kemampuan sosial, sekaligus mengenali potensi dirinya. Dari ruang-ruang sederhana inilah, minat belajar sering kali tumbuh secara perlahan tetapi kuat.

Pendekatan semacam ini sejalan dengan arah kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang menekankan pentingnya pembelajaran yang berpusat pada anak, penguatan karakter, serta penghargaan terhadap keunikan setiap individu. Dalam semangat Merdeka Belajar, proses pendidikan diharapkan memberi ruang bagi anak untuk berkembang sesuai minat dan kemampuannya. Menariknya, prinsip-prinsip ini justru telah lama dipraktikkan oleh TBM secara alami, jauh sebelum menjadi kebijakan resmi. TBM memberi anak kebebasan untuk belajar tanpa rasa takut salah, sesuatu yang sering kali sulit ditemukan dalam sistem pendidikan formal.

Data Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menunjukkan bahwa ribuan taman bacaan masyarakat tersebar di berbagai wilayah Indonesia dan sebagian besar dikelola secara swadaya oleh warga. Dengan fasilitas yang sederhana dan sumber daya terbatas, TBM tetap bertahan karena memang dibutuhkan. Kehadirannya melengkapi peran sekolah formal, terutama dalam hal pendampingan personal, pembentukan karakter, dan penciptaan ruang aman bagi anak-anak.

Sayangnya, peran strategis TBM masih sering dipandang sebelah mata. TBM kerap dianggap sebagai pelengkap, bukan bagian penting dari ekosistem pendidikan dan perlindungan anak. Padahal, jika dilihat dari fungsinya, TBM memiliki potensi besar untuk menjadi mitra sekolah, keluarga, dan pemerintah dalam membangun lingkungan belajar yang lebih inklusif dan berkelanjutan. TBM bukan pesaing sekolah, melainkan penguat dari hal-hal yang belum sepenuhnya dapat dilakukan oleh pendidikan formal.

Sudah saatnya cara pandang terhadap taman bacaan masyarakat diubah. TBM bukan sekadar tempat menyusun buku di rak, melainkan ruang hidup tempat anak-anak belajar mengenal diri, mengasah bakat, membangun hubungan sosial, dan merasa aman menjadi dirinya sendiri. Ketika literasi dipahami sebagai proses pemberdayaan, TBM hadir sebagai wujud nyata literasi yang membumi, tumbuh dari komunitas, hidup bersama masyarakat, dan memberi dampak langsung bagi masa depan anak-anak.


*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *