Buzzer Politik Dan Ancaman Terhadap Kebebasan Berekspresi Di Era Digital Oleh Dea Yohanna *)

Di era digital yang semakin maju, buzzer politik telah menjadi fenomena yang tak terelakkan dalam lanskap demokrasi Indonesia. Mereka hadir sebagai aktor baru yang memainkan peran signifikan dalam membentuk opini publik, namun sekaligus menimbulkan ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi. Buzzer politik, yang seharusnya menjadi bagian dari dinamika demokrasi, justru sering kali berubah menjadi alat propaganda yang membungkam suara-suara kritis di ruang publik.

Buzzer politik bekerja dengan media sosial dalam narasi-narasi yang direkayasa. Mereka tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga secara sistematis menciptakan ilusi konsensus publik. Data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 65% konten politik yang viral di media sosial pada tahun 2023 didominasi oleh akun-akun yang diduga sebagai buzzer. Dominasi ini mengakibatkan distorsi dalam ruang publik, di mana suara-suara independen dan kritis semakin tersingkir.

Salah satu dampak paling mengkhawatirkan dari buzzer politik adalah efek membungkam yang mereka ciptakan. Survei yang dilakukan oleh Alvara Research Center pada awal 2024 menemukan bahwa 40% warganet mengaku enggan menyampaikan pendapat politik di media sosial karena takut menjadi target serangan buzzer. Fenomena self-censorship ini merupakan ancaman nyata terhadap kebebasan berekspresi, yang merupakan pilar penting demokrasi. Ketika masyarakat takut untuk menyuarakan pendapatnya, ruang publik menjadi tidak sehat dan demokrasi kehilangan esensinya.

Buzzer politik tidak hanya membungkam suara kritis, tetapi juga secara aktif memanipulasi opini publik. Mereka menggunakan berbagai taktik, mulai dari penyebaran informasi yang tidak akurat hingga kampanye hitam yang terorganisir.

Laporan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat bahwa 70% hoaks politik yang beredar di media sosial pada Pemilu 2024 disebarkan oleh jaringan buzzer. Praktik semacam ini tidak hanya merusak
kualitas diskusi publik tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.

Pemerintah telah berupaya mengatasi masalah ini melalui berbagai regulasi, termasuk revisi UU ITE dan Permenkominfo tentang Penyelenggara Sistem Elektronik. Namun, upaya ini sering kali dianggap sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, regulasi diperlukan untuk mengontrol penyalahgunaan media sosial, tetapi di sisi lain, ia berpotensi digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi yang sah. Tantangan terbesar adalah menciptakan keseimbangan antara pengawasan dan perlindungan terhadap kebebasan sipil.

Buzzer politik telah mengubah wajah demokrasi digital di Indonesia. Meskipun mereka bisa menjadi bagian dari dinamika demokrasi, dominasi dan praktik manipulatif mereka justru mengancam kebebasan berekspresi. Untuk menjaga kesehatan demokrasi kita, diperlukan upaya kolektif dari pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat untuk menciptakan ruang digital yang lebih inklusif dan kritis. Tanpa itu, demokrasi kita berisiko menjadi arena pertarungan narasi yang tidak sehat, di mana suara kebenaran dan kritik justru tersingkir oleh gemuruh buzzer yang dibayar.

*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *