Daerah Otonomi Baru dan Krisis Budaya Lokal: Pemekaran, Tapi Kehilangan Akar? Oleh Muhammad Ferryl Irawan *)

Pemekaran wilayah atau pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) sering digadang sebagai langkah strategis untuk memajukan daerah. Pemerintah berharap, dengan daerah yang lebih kecil dan fokus, layanan publik akan lebih cepat, pembangunan lebih merata, dan masyarakat bisa lebih sejahtera. Namun, di balik janji manis itu, ada pertanyaan besar yang jarang dibahas: bagaimana nasib identitas budaya lokal setelah pemekaran?

Pemekaran tak hanya memindahkan batas administrasi, tapi juga berpotensi mengoyak sejarah, adat, dan rasa kebersamaan masyarakat yang selama ini hidup dalam satu kesatuan. Di beberapa kasus, DOB malah menimbulkan gesekan antar komunitas karena perebutan lambang, nama daerah, bahkan klaim siapa yang paling berhak disebut “penduduk asli.”

Padahal, identitas budaya bukan sekadar pelengkap. Ia adalah ruh suatu daerah. Ketika wilayah baru dibentuk tanpa mempertimbangkan sejarah lokal, maka yang tumbuh adalah rasa asing di rumah sendiri. Warga yang dulu hidup dalam kesatuan adat tertentu kini harus beradaptasi dengan identitas administratif baru yang belum tentu mewakili mereka.

Hal ini semestinya menjadi perhatian serius, termasuk bagi daerah-daerah di Banten yang mungkin suatu saat menghadapi wacana pemekaran wilayah. Jangan sampai euforia pembentukan DOB justru mengaburkan akar sejarah dan budaya lokal yang telah dibangun bertahun-tahun lamanya.

Alih-alih memperkuat jati diri, DOB bisa jadi memperlemah rasa memiliki jika tidak disiapkan dengan matang. Apalagi jika hanya segelintir elit yang dilibatkan dalam prosesnya, sementara warga tidak pernah benar-benar ditanya apa yang mereka butuhkan dan rasakan.

Pemekaran daerah seharusnya menjadi peluang untuk menghidupkan kembali identitas lokal, bukan malah menghapusnya. Karena sejatinya, otonomi bukan hanya soal anggaran dan birokrasi, tapi juga soal kemandirian budaya dan keberlanjutan sejarah.

Kita perlu mengingat, daerah yang kuat bukan hanya yang memiliki kantor mewah atau jalan besar, tapi juga yang warganya merasa punya akar, sejarah, dan identitas yang dijaga. Jika tidak, pemekaran hanya akan menciptakan nama baru bagi masalah lama: keterasingan di tanah sendiri.

*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fisip, Jurusan Administrasi Publik

BalasTeruskanTambahkan reaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *