
Kota Tangerang- Sidang praperadilan Nenek berusia 68 tahun bernama Li Sam Ronyu, pemilik tanah seluas 32 hektare di Teluknaga, Kabupaten Tangerang yang menjadi korban Mafia Tanah pada Rabu (25/06/2025) ditunda oleh Majelis Hakim, karena pihak termohon yakni penyidik Polres Metro Tangerang Kota dan Kejaksaan Negeri Kota Tangerang tidak hadir.
Dalam permasalahan ini, Li Sam Ronyu laporkan ke polisi atas tudingan pemalsuan dokumen, hingga menjadi tersangka. Atas penetapan tersangka yang diduga tidak sesuai ketentuan tersebut, Li Sam Ronyu melalui kuasa hukumnya mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Tangerang.
Pantauan Bantenkita.com si lokasi, Majelis hakim sempat membuka sidang hanya sebentar. Namun, tak sampai 5 menit, ia memutuskan menunda sidang karena pihak termohon yakni penyidik Polres Metro Tangerang Kota dan Kejaksaan Negeri Kota Tangerang tidak hadir.
“Sidang ditunda seminggu, sampai tanggal 2 Juli 2025, karena termohon tidak hadir. Jika sidang ini tetap digelar, saya bisa kena kode etik,” ucap Majelis Hakim Agung Suhendro.
Sementara, Charles Situmorang yang merupakan Tim Kuasa Hukum Li Sam Ronyu mengaku kecewa atas penundaan sidang tersebut. Sebab, pihak PN Tangerang sudah melakukan pemanggilan kepada pihak pemohon dan termohon untuk hadir dalam sidang perdana hari ini.
“Faktanya ternyata penegak hukum, dalam hal ini penyidik Polres Metro Tangerang Kota tidak hadir atas perintah pengadilan. Kami khawatir penundaan ini akan berdampak pada status klien kami yang saat ini sebagai tersangka dilanjutkan hingga menjadi terdakwa di pengadilan,” ungkapnya.
Charles menyebut dalam aturan permohonan praperadilan, dalam Pasal 78 KUHP disebutkan ada batasan waktu 3 hari, hakim harus melakukan pemanggilan kepada pemohon dan termohon untuk menghadiri sidang sejak praperadilan didaftarkan.

“Lalu pada Pasal 82, sejak sidang pertama praperadilan harus digelar cepat yakni 7 hari. Tapi hari ini justru ditunda sampai minggu depan,” ujarnya.
Charles menduga penundaan ini sengaja dilakukan penyidik Polres Metro Tangerang agar bisa segera melimpahkan perkara Li Sam Ronyu ke Kejaksaan dan Pengadilan.
“Jangan-jangan ini patut diduga ada upaya perkara klien kami bisa segera naik persidangan sehingga praperadilannya gugur,” jelasnya.
Menurut Charles praperadilan ini diajukan karena diduga penetapan tersangka kliennya bertentangan dengan aturan hukum. Karena sebelumnya, tim kuasa hukum sudah menempuh berbagai langkah perlindungan hukum. Salah satunya mengajukan permohonan gelar perkara di Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Mabes Polri.
Dalam gelar perkara tersebut telah ditegaskan bahwa tidak ditemukan unsur pidana, kekurangan alat bukti, maupun peristiwa pidana yang dapat menjerat kliennya sebagai tersangka.
“Irwasum Polri telah memberi rekomendasi untuk dilakukan pemeriksaan terhadap 6 AJB (Akta Jual Beli) tanah induk dan saksi-saksi tambahan. Tapi faktanya, penyidik Polres Metro Tangerang Kota tidak mematuhi rekomendasi Mabes dan tetap menetapkan Li Sam Ronyu sebagai tersangka,” papar Charles.
Charles mengungkapkan ada dugaan kuat terdapat campur tangan pihak ketiga, termasuk kemungkinan keterlibatan mafia tanah dalam pelaporan kliennya ini.
Seperti diketahui, Li Sam Ronyu dilaporkan atas dugaan pemalsuan dokumen oleh ahli waris yang mengaku pemilik tanah di Kampung Nangka, Desa Teluk Naga, Kecamatan Teluknaga.
Padahal, Li Sam Ronyu sudah memiliki tanah seluas 32 hektare itu sejak tahun 1994. Ia ketika itu membelinya dari pemilik sebelumnya bernama Sucipto. Namun hanya memiliki Akta Jual Beli (AJB).
Tak hanya itu, sebagai pemilik asli, Li Sam Ronyu secara rutin membayar pajak tanah tersebut hingga tahun 2024. Dan pada tahun 2021, Li Sam Ronyu berniat meningkatkan status kepemilikan tanah dari AJB menjadi sertifikat hak milik.
Tapi pada akhir 2024, Li Sam Ronyu tiba-tiba dilaporkan ke polisi dan pada 27 Mei 2025 statusnya dinaikkan menjadi tersangka. Ia dijerat Pasal 263, 264, dan 266 KUHP tentang pemalsuan surat dan keterangan palsu. (Sam)