Gambaran nilai impor baja nasional 2018 

(Banten Kita) – Chairman Asosiasi Besi dan Baja Nasional/The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA), Silmy Karim mengungkapkan baja impor masih banjiri pasar baja nasional di 2019 meskipun pemerintah telah membatasi melalui peraturan menteri.

“Sudah ada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 110 Tahun 2018 tentang ketentuan impor besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya namun belum memberikan dampak positif,” kata Silmy dalam keterangannya di Jakarta, Rabu. 

Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik, pada periode Januari hingga Juli 2019, jumlah importasi besi dan baja telah mencapai 3,8 juta ton atau meningkat sebesar 6% jika diperbandingkan dengan periode yang sama di tahun 2018 (y-o-y). 

Bahkan hingga Agustus 2019, besi dan baja masih menempati posisi 3 besar komoditi impor yang masuk ke Indonesia dengan nilai impor mencapai 6,7 Milyar USD, juga meningkat 6% jika diperbandingkan dengan periode yang sama di tahun 2018 (y-o-y). 

Implementasi Permendag 110/2018 sangat diharapkan industri baja nasional untuk menekan laju importasi yang semakin tinggi, dimana importasi mencapai 6,9 juta ton di tahun 2018. 

Hal tersebut bukanlah hal yang mudah dan sangat tergantung pada komitmen serta sinergi dari semua pihak terkait. Pemerintah melalui Kementerian terkait memiliki peran serta tanggung jawab yang besar dalam menjamin implementasi Permendag 110/2018 dapat dilakukan secara total. 

Pengawasan dalam implementasi di lapangan akan ditentukan terutama dalam hal pemberian rekomendasi berupa Pertimbangan Teknis yang menjadi acuan dalam pemberian izin impor baik kepada importir produsen maupun importir umum. 

  Kondisi yang dialami industri baja nasional justru akan semakin mengkhawatirkan dengan adanya regulasi dari Kementerian Perindustrian yang membebaskan Pertimbangan Teknis produk baja SNI dan Pertimbangan Teknis Impor untuk importir produsen (API-P). 

Silmy Karim menyampaikan, pengecualian pemberlakuan SNI baja untuk importir produsen (API-P) akan berdampak pada keamanan dan keselamatan pengguna, mengingat baja merupakan salah satu bahan baku yang digunakan dalam pembangunan konstruksi dan infrastruktur. 

“Penerapan SNI khususnya untuk produk besi dan baja harus diberlakukan secara wajib dan menyeluruh, karena ini terkait dengan keamanan dan keselamatan pengguna baja, bukan malah dikecualikan”, ujar Silmy. 

Selain itu menurut Silmy, deregulasi terkait tata niaga impor bagi pemegang API-P yang dikeluarkan pemerintah dikhawatirkan akan semakin berdampak pada membanjirnya produk baja impor ke Indonesia, terlebih karena pengawasan di lapangan dirasa masih belum optimal. 

“Pembebasan teknis impor baja atau pertimbangan teknis untuk API-P akan menjadi celah bagi importir yang hanya memanfaatkan status kepemilikan API-P untuk mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) lalu hanya menjual kembali produk tersebut. Hal ini akan semakin menghantam industri baja nasional dari hulu hingga hilir”, tambah Silmy. 

Deregulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut dirasa akan mempermudah penerbitan izin impor dan menurunkan utilisasi industri baja nasional. 

Silmy menambahkan, produk baja yang diimpor ke Indonesia merupakan produk-produk yang secara spesifikasi dapat diproduksi oleh produsen dalam negeri. Sehingga pemberian izin impor seyogyanya harus diperbandingkan dengan kemampuan produsen dalam negeri terlebih dahulu, sebagaimana arahan Bapak Presiden Joko Widodo. 

“Apresiasi kami sampaikan kepada Bapak Presiden Joko Widodo terkait arahannya untuk mengendalikan importasi dan mengutamakan produk dalam negeri. Bapak Presiden menyatakan saat ini telah banyak produk impor yang masuk ke Indonesia, termasuk produk-produk sederhana seperti pacul dan cangkul impor, padahal produk-produk tersebut seharusnya dapat diproduksi di dalam negeri. Maka itu Bapak Presiden menegaskan agar produk-produk yang dapat diproduksi di dalam negeri, tidak boleh lagi diimpor sebagai upaya untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri, menekan defisitnya neraca perdagangan RI, serta membuka lapangan pekerjaan”, ucap Silmy. 

Kewajiban penggunaan produk dalam negeri serta upaya Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Industri perlu ditempatkan sebagai kebijakan strategis yang harus dijalankan secara konsisten, bukan sekedar kebijakan teknis administratif yang diperlukan sebagai pelengkap syarat dan proses pengadaan barang dan jasa baik di Kementerian/Lembaga maupun BUMN. Oleh sebab itu, komitmen bersama seluruh pemangku kepentingan terkait pengawasan produk impor secara komprehensif dan berkesinambungan sangat dibutuhkan. Gan/Ant